WELCOME TO MY BLOG

Thursday, December 10, 2009

salah satu tanda kiamat

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Hari kiamat tidak akan terjadi kecuali setelah dua golongan besar saling berperang sehingga pecahlah peperangan hebat antara keduanya padahal dakwah mereka adalah satu. (Shahih Muslim No.5142)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali setelah banyak peristiwa haraj. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah haraj itu? Beliau menjawab: Pembunuhan, pembunuhan. (Shahih Muslim No.5143)
Read More..

Keutamaan Do'a

1. Do'a adalah otaknya (sumsum / inti nya) ibadah. (HR.Tirmidzi)
2. Do'a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama
serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya'la)
3. Akan muncul dalam umat ini suatu kaum yang melampaui batas
kewajaran dalam berthaharah dan berdoa. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Penjelasan:
Yakni berdoa atau mohon kepada Allah untuk hal-hal yang tidak
mungkin dikabulkan karena berlebih-lebihan atau untuk sesuatu
yang tidak halal (haram).

4. Ada tiga orang yang tidak ditolak do'a mereka: (1) Orang yang
berpuasa sampai dia berbuka; (2) Seorang penguasa yang adil; (3)
Dan do'a orang yang dizalimi (teraniaya). Do'a mereka diangkat
oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan
Allah bertitah, "Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu
(menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Tirmidzi)
5. Barangsiapa tidak (pernah) berdo'a kepada Allah maka Allah
murka kepadanya. (HR. Ahmad)

5 Tiga macam do'a dikabulkan tanpa diragukan lagi, yaitu doa
orang yang dizalimi, doa kedua orang tua, dan do'a seorang
musafir (yang berpergian untuk maksud dan tujuan baik). (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

6. Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Murah hati. Allah
malu bila ada hambaNya yang menengadahkan tangan (memohon
kepada-Nya) lalu dibiarkannya kosong dan kecewa. (HR. Al Hakim)
7. Tiada seorang berdo'a kepada Allah dengan suatu do'a,
kecuali dikabulkanNya, dan dia memperoleh salah satu dari tiga
hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan
(ditabung) untuknya sampai di akhirat, atau diganti dengan
mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Ath-Thabrani)

8. Barangsiapa ingin agar do'anya terkabul dan kesulitan-
kesulitannya teratasi hendaklah dia menolong orang yang dalam
kesempitan. (HR. Ahmad)
Read More..

Kiamat tidak akan terjadi sebelum

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum sungai Euphrat menyingkap gunung emas, sehingga manusia saling membunuh (berperang) untuk mendapatkannya. Lalu terbunuhlah dari setiap seratus orang sebanyak sembilan puluh sembilan dan setiap orang dari mereka berkata: Semoga akulah orang yang selamat. (Shahih Muslim No.5152)


Fitnah itu akan terjadi di tempat terbitnya matahari, tempat dua tanduk setan muncul
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda sambil menghadap ke arah timur: Ketahuilah, sesungguhnya fitnah akan terjadi di sana! Ketahuilah, sesungguhnya fitnah akan terjadi di sana. Yaitu tempat muncul tanduk setan. (Shahih Muslim No.5167)

Kiamat tidak akan terjadi sebelum seseorang melewati kuburan orang lain, lalu ia berharap dapat menggantikan tempat si mayit karena beratnya cobaan dunia
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Kiamat tidak akan terjadi sebelum seseorang melewati kuburan orang lain lalu berkata: Alangkah senangnya bila aku menempati tempatnya!. (Shahih Muslim No.5175)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Kiamat tidak akan terjadi sebelum seorang lelaki muncul dari Qahthan menggiring manusia dengan tongkatnya. (Shahih Muslim No.5182)
Read More..

Friday, September 5, 2008

poem

DOA DAN HARAPAN

 

Lirihku semoga jadi doa

Tangisanku semoga jadi sesal

Nafasku semoga jadi tasbih

Tatapanku semoga jadi rahmat

Perkenankanlah Ya Rabb…

 

Harapanku semoga jadi kenyataan

Resahku semoga jadi jawaban

Deritaku semoga jadi kesabaran

Pelitaku semoga jadi impian

Kabulkanlah Ya Rabb…

 

Doa di dalam sujud dan ruku

T’lah menghadirkan cahaya

Melaksanakan kepingan sisa harapan

Tuk meraih ampunanMu … Ya Rabb
Read More..

cerita ramadhan

Jarak, waktu, dan hari-hari yang berlalu telah mengubah Ibu kami. Akhir-akhir ini wajah Ibu selalu membayangi saya. Terbayang wajah perempuan berusia hampir 70 tahun yang telah melahirkan saya. Kerut-merut yang khas, rambut putih di kepalanya. Terbayang hari-hari berat yang telah dilaluinya. Bertahun-tahun lalu, ia mampu mengubah dirinya dari kijang muda pemalu menjadi macan betina yang siap melakukan apa saja untuk melindungi anak-anaknya.

Ia masih muda dan cantik ketika suaminya, Bapak kami, meninggal beberapa puluh tahun lalu. Dengan keberanian seekor macan betina, Ibu memutuskan untuk menjalani hari-hari berat merawat dan membesarkan delapan anaknya, sendirian. Karena ia perempuan perkasa yang ditempa keadaan. Suaminya tidak meninggalkan apa-apa. Apa yang bisa ditinggalkan seorang laki-laki yang mabuk judi dan perempuan dan meninggal dalam kemiskinan dan cengkeraman penyakit, selain tumpukan utang dan rumah yang tergadai?

Ya, saya tidak malu mengakuinya. Ayah saya bukan pahlawan. Ia seorang pengecut dan pemimpi yang meninggal dalam kehinaan, dikalahkan penyakit yang diperolehnya dari kehidupan brengsek yang dijalaninya selama bertahun-tahun, jauh sebelum ia menikah dengan Ibu kami. Toh rumah tangga yang absurd di mata saya sekarang itu, mampu menghadirkan delapan anak. Entah dengan cara bagaimana.

Jadi, sudah jelas bukan, Ibu adalah pahlawan kami. Paling tidak di mata saya. Meskipun sekarang ia sudah menjelma menjadi perempuan tua cerewet yang keras kepala. Saya tetap mencintainya. Bukan, bukan karena saya takut tidak kebagian ridho Ibu dan menjadi anak durhaka seperti si Malin Kundang. Namun karena saya benar-benar mencintainya. Karena Ibu telah bekerja keras hampir sepanjang umurnya. Karena Ibu selalu mau menjadi lilin yang siap terbakar habis untuk menerangi sekelilingnya-terutama untuk menerangi kehidupan anak-anaknya. Berkat Ibu-lah kami, anak-anaknya, bisa menjadi seperti sekarang.

Namun beberapa tahun terakhir kami harus ekstra sabar menghadapi Ibu. Kesehatan fisiknya masih bagus, kecuali telinganya yang mulai sulit mendengar. Namun, terasa Ibu saya mulai mengalami kemunduran mental yang luar biasa. Ia mulai menjadi pelupa. Ia menjelma sebagai kanak-kanak kembali. Keras kepala dan gampang tersinggung, mengingatkan pada sikap anak bungsu saya Agung yang baru duduk di kelas satu SD.
Tahun lalu Ibu membuat saya dan keluarga kami repot. Tiba-tiba saja ia ingin merayakan Idul Fitri di kampung halamannya di Jawa Barat.

"Untuk apa?" tanya saya. "Bukankah semua anak cucu ada di Jakarta. Di sana juga tidak ada siapa-siapa lagi, selain keluarga Paman Ikhsan, adik ibu. Sebagai kakak, Ibu tidak wajib datang."
"Tapi Ibu rindu kampung halaman, Ridwan. Tolonglah antar Ibu ke sana. Sudah bertahun-tahun Ibu tidak pulang kampung." Ah, tentu saja itu tidak benar. Dua tahun sebelumnya kami sempat mengajaknya menginap di rumah Paman Ikhsan.

Akhirnya terpaksa saya membatalkan rencana liburan sehabis Idul Fitri, yang membuat istri dan anak-anak saya cemberut. Soalnya sudah lama liburan itu kami rencanakan, di tengah kesibukan kami masing-masing. Kebetulan hanya saya yang waktu itu punya waktu untuk mengantar ibu. Jauh-jauh hari saudara-saudara saya sudah punya jadwal acara masing-masing untuk mengisi cuti Lebaran mereka.
Ibu, Ibu, berat juga memang ujian kesabaran untuk sekadar mendapat julukan anak yang berbakti pada orang tua. Nyatanya benar. Hanya gayanya saja yang seolah-olah kepincut ingin pulang kampung. Baru satu malam di sana, Ibu sudah ribut mengajak saya kembali ke Jakarta. Ada-ada saja.

* * *

Saya baru saja pulang dari kantor ketika istri saya Nani langsung melaporkan ada telepon dari Ibu. Ibu memang tinggal sendiri di rumahnya di pinggiran Jakarta, hanya ditemani Bi Encum, pembantu setia keluarga kami yang sudah bertahun-tahun mengikuti Ibu.

“Ibu tadi telepon, Mas. Menanyakan apa kita bisa bantu untuk membuat selamatan Ruwahan di rumahnya, untuk menyambut bulan Ramadhan.”

“Untuk apa,” kata saya. Saya ingat, sehabis Idul Fitri nanti toh kami juga sudah harus siap-siap disibukkan oleh urusan acara selamatan yang cukup besar dan pastinya menguras cukup tenaga dan isi kantong. Saya dan istri memang mengajak ibu pergi Haji tahun ini. Pastinya akan ada hajat selamatan cukup besar, mengumpulkan kaum kerabat, teman kantor, dan para tetangga, memohon doa restu agar kami kembali selamat ke Tanah Air dan menjadi haji mabrur, bukan haji mardut yang pulang dari tanah suci, malah makin menjadi-jadi kelakuannya.

Selamatan Ruwahan menjelang bulan Ramadhan itu, kan, hanya sekadar tradisi, mengumpulkan tetangga dekat dan keluarga untuk berdoa bersama, mendoakan kaum kerabat yang telah meninggal dunia. Juga meminta berkah untuk sesuatu hal yang akan kita jalani, seperti puasa Ramadhan misalnya. Setelah itu diisi dengan selamatan, alias makan bersama-sama.

Wah, itu kan tidak ekonomis, butuh biasa sendiri. Itu hanya tradisi dan tidak diajarkan oleh agama. Apa lagi mengingat persiapan menyambut Ramadhan dan Idul Fitri selalu membutuhkan dana ekstra yang cukup menguras kantong. Berdoa, kan, bisa dilakukan sendiri-sendiri, kapan saja dan di mana saja. Bukankah doa merupakan percakapan intim dengan Tuhan yang harus dilakukan secara bersahaja, bukan bersama-sama dengan suara mendengung bising seperti lebah, kata saya sok sufistik, kepada istri saya.

“Ya, terserah Mas saja. Pokoknya biar sabar menjelaskan pada Ibu, supaya Beliau tidak ngambek,” sahut istriku lembut (oh, bersyukur saya punya istri yang lembut dan penuh pengertian).
Keesokan harinya, karena kantor libur, saya sempatkan pergi menengok Ibu saya. Dia tampak senang menyambut kedatangan kami sekeluarga. “Ya, ini, kan, menjelang bulan Ramadhan, kami harus bertemu ibu untuk meminta maaf, supaya puasa kita menjadi lebih afdal,” kata saya. Ibu tersenyum bahagia. Saya ancang-ancang mau membicarakan soal selamatan ruwahan itu. Tapi ternyata Ibu sudah mendahului saya.

“Bagaimana Ridwan, kamu bisa bantu Ibu, kan? Maklumlah Ibu tinggal di pinggiran kota, di tengah-tengah orang sederhana seperti tetangga-tetangga Ibu. Di sini memang ada kebiasaan membuat selamatan ruwahan menjelang bulan Ramadhan. Mereka bilang pada Ibu, masak Ibu dan anak ibu bisa pergi haji tahun ini, tapi tidak bisa bikin selamatan ruwahan untuk menyambut bulan Ramadhan. Wah, panas hati Ibu mendengarnya,” kata ibu berapi-api. Saya dan istri saling lirik dan bertukar pandang. Wah, sudah mulai nih.

“Tidak apa-apa ibu, selamatan seperti itu, kan, hanya tradisi, tidak diajarkan oleh agama. Lagi pula, sebagai orang yang lebih tahu, masak kita mau mengikuti perkataan para tetangga. Kita, kan, beragama sesuai ajaran, bukan berdasarkan apa yang dikatakan tetangga,” saya mencoba meyakinkan Ibu.

Namun, seperti sudah bisa ditebak, Ibu tetap berkeras pada keinginannya. “Ayolah, Ridwan, tetangga Ibu yang hanya jualan tanaman hias di pinggir jalan saja bisa bikin selamatan ruwahan, masak anak-anak Ibu tidak mau membantu, sih?”

Wah, gawat. Saya lihat awan mendung mulai menghiasi mata Ibu. Saya menjadi tidak tahan. Setelah rembukan dengan istri, saya menyerah. Saya pun mulai menelepon kakak dan adik saya. Awalnya mereka juga menggerutu seperti saya. Ibu ini ada-ada saja, kata mereka, yang tidak penting begitu kok dipenting-pentingin, sih. Tapi akhirnya, seperti saya, mereka pun mengalah. Semua anak setuju membantu menyiapkan berbagai keperluan agar selamatan ruwahan itu bisa terlaksana.

Dua hari sebelum bulan Ramadhan tiba, acara itu pun jadi diselenggarakan. Sebagian besar anak, menantu, dan cucu ikut datang ke rumah ibu. Tidak ketinggalan para tetangga. Seorang juru doa, Ustad Umar yang masih bertetangga dengan Ibu, dipanggil untuk memimpin doa selamatan. Kebahagiaan ibu bertambah karena hari itu Ibu juga kedatangan tamu. Paman Ikhsan dan istrinya datang dari kampung, ingin menginap di rumah Ibu barang satu-dua hari.

Kebetulan Paman juga seorang tokoh agama di kampungnya. Ia punya pesantren sendiri, meskipun hanya pesantren kecil. Saya tahu paman Ikhsan juga sama seperti saya, tidak terlalu sreg dengan selamatan macam itu yang terkesan mengada-ada, konsumtif, dan hanya sekadar mengikuti tradisi. Namun paman, hanya tersenyum sabar. “Biar saja, yang penting ibumu senang. Buat dia, berkumpulnya anak cucu dalam kesempatan ini, jauh lebih penting daripada sekadar selamatan ini.”

Lebih lucu lagi karena ternyata paman juga mengenal Ustad Umar yang memimpin doa selamatan itu. Alangkah kecilnya dunia. Namun, saya merasa heran melihat sikap ustad Umar yang terkesan kaku dan salah tingkah melihat paman ada di situ. Begitu menyelesaikan tugasnya, Ustad Umar cepat-cepat pergi.

“Kenapa Paman?” Bisik saya.
“Ah, saya tahu masa lalu dia. Tapi sudahlah, tidak baik membicarakan aib orang. Kita harus berprasangka baik, setiap orang berhak mengubah dirinya menjadi lebih baik bukan? Yang penting, tidak usah cerita soal ustad Umar pada ibumu. Biarlah ibumu bahagia karena acara ini,” kata paman.

Saya melihat ke arah Ibu. Ia tampak bahagia berada di tengah anak cucunya. Diam-diam saya pribadi merasa bersalah. Mungkin kami, anak cucunya, terlalu disibukkan dengan urusan kami masing-masing. Sehingga lupa meluangkan waktu lebih banyak untuk Ibu kami sendiri. Saya rasa Ibu juga tahu, selamatan ruwahan itu tidak penting. Yang penting baginya adalah merasakan berkumpul di tengah anak cucunya, meskipun hanya untuk beberapa jam saja.

Tanpa terasa, mata saya menjadi berkaca-kaca melihat senyum bahagia ibu saya sore itu. Read More..

Friday, August 8, 2008

Ketika Hati Bicara

Mengenang dan merenungkan aku
Ternyata aku masih lebih baik dari mereka
Betapa kali ini aku kurang mensyukurinya

Dia katakan begitu jujur
Begitu lugu ceritakan semuanya
Aku memohon untuknya agar dia tetap tabah jalani hidup yang penuh tantangan ini
Tetap,raihlah masa depanya
Janganlah lengah walau ombak sering menampakan badainya
Karena itu hanya sekejab
Percayalah.........

Begitulah kata hatiku yang belum terucap untuknya
Hanya dengan tulisan ini kuharap sampai di hatinya,membakar semangatnya..dalam mengarungi samudra hidup yang penuh liku

Janganlah engkau tangisi keadaanmu sekarang
Percayalah itu tak akan merubah keadaan hidup
Jalani esok hari dengan lebih baik dan semangat baru
Aku yakin di hatimu ada kekuatan sperti ini...
Read More..
Sesungguhnya, Rakyat Belumlah Merdeka Seluruh rakyat Indonesia mufakat menetapkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan dari kolonial Belanda yang telah "mengangkangi" kadaulatan NKRI selama 350 tahun. Tapi sejatinya, secara substansial rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan itu secara utuh. Karena dalam banyak hal, kondisi rakyat Indonesia saat ini masih sama belaka dengan kondisi pada masa penjajahan. Setidaknya ada lima persoalan krusial yang bisa menjadi bukti kesahihan tesis itu. Pertama, persoalan kebebasan beragama. Tak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini persoalan kebebasan beragama menjadi pembicaraan panas nan kontroversial, terutama pasca kemunculan 11 Fatwa MUI yang dihasilkan pada Munas VII lalu, yang antara lain melarang ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Berbagai kalangan yang kontra MUI, seperti Aliansi Masyarakat Madani, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), dan pemikir-pemikir progresif lain, menyatakan masa depan kebebasan beragama yang dilindungi undang-undang di negeri ini kian suram saja. Karena fatwa itu, rakyat Indonesia menjadi tidak merdeka menganut kepercayaan yang diyakini. Kelompok minoritas akhirnya menjadi "jajahan" kelompok mayoritas, sehingga mereka tidak bisa mengekspresikan keyakinannya secara bebas. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Kedua, persoalan ekonomi rakyat. Hingga saat ini, pendapatan perkapita rakyat Indonesia masih sangat rendah dan bahkan jauh di bawah standar. Demo-demo yang berisi tuntutan standarisasi (baca: kenaikan) gaji akhirnya terjadi di mana-mana. Ini menunjukkan, realitas ekonomi rakyat masih menjadi masalah serius di negeri "kaya raya" ini. Bahkan, karena sempitnya lapangan pekerjaan, kian hari kian panjang saja deretan daftar pengangguran. Ironisnya, ketika lapangan kerja tertutup yang menyebabkan membuncahnya pengangguran, pemerintah toh tidak (bisa) berbuat apa-apa. Ini jelas berbeda dengan pemerintah Jerman misalnya, yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup para pengangguran. Di Jerman, secara rutin para pengangguran mendapat tunjangan bulanan yang cukup untuk makan dan tempat tinggal. Di Indonesia? Para pengangguran benar-benar sempurna menjadi kelompok paling sengsara, karena tidak mendapat tunjangan apapun dari pemerintah. Sebagai pelindung rakyat, seharusnya pemerintah bertanggung jawab penuh atas semua itu. Tapi Indonesia bukanlah Jerman. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Ketiga, persoalan jaminan kesehatan. Tak dapat dipungkiri lagi, penyakit menjadi "menu favorit" harian rakyat Indonesia. Dari busung lapar, gizi buruk, DBD, flu burung, dan sebagainya. Ironisnya, penyakit-penyakit yang banyak menerpa kelompok miskin ini acapkali harus berujung pada kematian. Biaya rumah sakit yang mahal memaksa mereka untuk lebih "'merelakan" kematian daripada memaksakan kesembuhan. Mahalnya biaya dan njelimet-nya sistem birokrasi rumah sakit pun lantas menjadi momok mengerikan bagi kalangan miskin. Banyak kasus, rumah sakit dengan sadis menolak menolong pasien yang dalam kondisi darurat, hanya karena yang bersangkutan tidak bisa menyediakan biaya awal pengobatan. Pada kenyataannya, rumah sakit acapkali lebih menekankan unsur bisnis ketimbang kemanusiaan. Ironisnya, dalam situasi seperti ini, pemerintah juga tidak (bisa) berbuat apa-apa. Idealnya, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas jaminan kesehatan itu, pemerintah menyediakan rumah sakit gratis atau setidaknya dapat dijangkau mereka. Tapi kenyataannya tidak demikian. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Keempat, persoalan politik. Secara riil, diakui atau tidak, kondisi perpolitikan negeri ini juga belum menunjukkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Demokrasi masih menjadi wacana yang mengambang di angkasa dan jauh dari realitas bumi. Bukti shahih itu misalnya, masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima kenyataan "permainan" politik seperti Pilkada. Masyarakat yang kalah masih belum bisa meredam amarah, emosi, rasa tidak terima, dan sebagainya. Bahkan tak jarang mereka melakukan ancaman atas kelompok yang menang. Padahal kemenangan atau kekalahan merupakan bagian dari konsekuensi proses politik yang wajar. Tapi ironisnya, sepeti Pilkada Depok, pihak yang telah dinyatakan menang oleh KPUD lantas dianggap tidak sah dan kemenangan itu dibatalkan Pengadilan Negeri Jabar; dan diiyakan MA. Itu sungguh lucu! Masyarakat yang menang berpolitik lantas kemenangannya dirampas begitu saja, dengan alasan-alasan yang membingungkan. Dugaan-dugaan uang turut bermain tak terhindarkan lagi. Ini, dan kasus-kasus lain, mengindikasikan bahwa proses politik di negeri ini masih dinodai intrik-intrik yang tidak mencerminkan makna kemerdekaan, karena kemerdekaan bisa dicabut kapan saja oleh pihak lain. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Kelima, persoalan pendidikan. Dalam kenyataannya, kemerdekaan dari penjajahan kolonial tidak menjadikan seluruh lapisan rakyat Indonesia dapat menikmati pendidikan secara baik. Buta huruf masih menggema di pojok-pojok Nusantara. Kelompok miskin yang sangat mendamba pendidikan, acapkali dipaksa gigit jari oleh kenyataan mahalnya biaya pendidikan. Pendidikan akhirnya hanya bisa dinikmati dan dimonopoli oleh orang-orang berduit. Ini menjadikan tidak seluruh rakyat Indonesia serta-merta "merdeka" untuk berpendidikan. Ini sama belaka dengan situasi penjajahan tempoe doeloe, di mana pendidikan hanya menjadi hak kalangan darah biru. Belum lagi kalau bicara soal kualitas pendidikan kita. Mutu pendidikan kita sangat buruk, hatta jika dibandingkan negara yang belum lama merdeka seperti Kamboja sekalipun. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Lima persoalan di atas perlu dipikirkan secara serius, terutama oleh pemerintah, untuk dicarikan jalan keluar sehingga kemerdekaan sejati benar-benar dapat diraih rakyat Indonesia. Sebab, jika persoalan-persoalan itu selalu menggelayuti kehidupan rakyat Indonesia, maka kemerdekaan dalam maknanya yang sejati hanya akan ada dalam angan dan awang. Rakyat Indonesia akan selamanya menjadi bangsa terjajah. Apalagi jika rumor pemerintah Belanda hendak "menjajah" Indonesia kembali, melalui Tim Uni Eropa yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) yang diketuai warga Belanda Peter Feith benar-benar menjadi kenyataan, tentu rakyat Indonesia akan kian sulit meraih kemerdekaan sesungguhnya. Akhirnya, memerdekakan rakyat Indonesa secara sesungguhnya harus menjadi agenda saat ini. Wa Allah a'lam. Oleh: Nurul Huda Maarif Duta Masyarakat, 16 Agustus 2005