
Ia masih muda dan cantik ketika suaminya, Bapak kami, meninggal beberapa puluh tahun lalu. Dengan keberanian seekor macan betina, Ibu memutuskan untuk menjalani hari-hari berat merawat dan membesarkan delapan anaknya, sendirian. Karena ia perempuan perkasa yang ditempa keadaan. Suaminya tidak meninggalkan apa-apa. Apa yang bisa ditinggalkan seorang laki-laki yang mabuk judi dan perempuan dan meninggal dalam kemiskinan dan cengkeraman penyakit, selain tumpukan utang dan rumah yang tergadai?
Ya, saya tidak malu mengakuinya. Ayah saya bukan pahlawan. Ia seorang pengecut dan pemimpi yang meninggal dalam kehinaan, dikalahkan penyakit yang diperolehnya dari kehidupan brengsek yang dijalaninya selama bertahun-tahun, jauh sebelum ia menikah dengan Ibu kami. Toh rumah tangga yang absurd di mata saya sekarang itu, mampu menghadirkan delapan anak. Entah dengan cara bagaimana.
Jadi, sudah jelas bukan, Ibu adalah pahlawan kami. Paling tidak di mata saya. Meskipun sekarang ia sudah menjelma menjadi perempuan tua cerewet yang keras kepala. Saya tetap mencintainya. Bukan, bukan karena saya takut tidak kebagian ridho Ibu dan menjadi anak durhaka seperti si Malin Kundang. Namun karena saya benar-benar mencintainya. Karena Ibu telah bekerja keras hampir sepanjang umurnya. Karena Ibu selalu mau menjadi lilin yang siap terbakar habis untuk menerangi sekelilingnya-terutama untuk menerangi kehidupan anak-anaknya. Berkat Ibu-lah kami, anak-anaknya, bisa menjadi seperti sekarang.
Namun beberapa tahun terakhir kami harus ekstra sabar menghadapi Ibu. Kesehatan fisiknya masih bagus, kecuali telinganya yang mulai sulit mendengar. Namun, terasa Ibu saya mulai mengalami kemunduran mental yang luar biasa. Ia mulai menjadi pelupa. Ia menjelma sebagai kanak-kanak kembali. Keras kepala dan gampang tersinggung, mengingatkan pada sikap anak bungsu saya Agung yang baru duduk di kelas satu SD.
Tahun lalu Ibu membuat saya dan keluarga kami repot. Tiba-tiba saja ia ingin merayakan Idul Fitri di kampung halamannya di Jawa Barat.
"Untuk apa?" tanya saya. "Bukankah semua anak cucu ada di Jakarta. Di sana juga tidak ada siapa-siapa lagi, selain keluarga Paman Ikhsan, adik ibu. Sebagai kakak, Ibu tidak wajib datang."
"Tapi Ibu rindu kampung halaman, Ridwan. Tolonglah antar Ibu ke sana. Sudah bertahun-tahun Ibu tidak pulang kampung." Ah, tentu saja itu tidak benar. Dua tahun sebelumnya kami sempat mengajaknya menginap di rumah Paman Ikhsan.
Akhirnya terpaksa saya membatalkan rencana liburan sehabis Idul Fitri, yang membuat istri dan anak-anak saya cemberut. Soalnya sudah lama liburan itu kami rencanakan, di tengah kesibukan kami masing-masing. Kebetulan hanya saya yang waktu itu punya waktu untuk mengantar ibu. Jauh-jauh hari saudara-saudara saya sudah punya jadwal acara masing-masing untuk mengisi cuti Lebaran mereka.
Ibu, Ibu, berat juga memang ujian kesabaran untuk sekadar mendapat julukan anak yang berbakti pada orang tua. Nyatanya benar. Hanya gayanya saja yang seolah-olah kepincut ingin pulang kampung. Baru satu malam di sana, Ibu sudah ribut mengajak saya kembali ke Jakarta. Ada-ada saja.
* * *
Saya baru saja pulang dari kantor ketika istri saya Nani langsung melaporkan ada telepon dari Ibu. Ibu memang tinggal sendiri di rumahnya di pinggiran Jakarta, hanya ditemani Bi Encum, pembantu setia keluarga kami yang sudah bertahun-tahun mengikuti Ibu.
“Ibu tadi telepon, Mas. Menanyakan apa kita bisa bantu untuk membuat selamatan Ruwahan di rumahnya, untuk menyambut bulan Ramadhan.”
“Untuk apa,” kata saya. Saya ingat, sehabis Idul Fitri nanti toh kami juga sudah harus siap-siap disibukkan oleh urusan acara selamatan yang cukup besar dan pastinya menguras cukup tenaga dan isi kantong. Saya dan istri memang mengajak ibu pergi Haji tahun ini. Pastinya akan ada hajat selamatan cukup besar, mengumpulkan kaum kerabat, teman kantor, dan para tetangga, memohon doa restu agar kami kembali selamat ke Tanah Air dan menjadi haji mabrur, bukan haji mardut yang pulang dari tanah suci, malah makin menjadi-jadi kelakuannya.
Selamatan Ruwahan menjelang bulan Ramadhan itu, kan, hanya sekadar tradisi, mengumpulkan tetangga dekat dan keluarga untuk berdoa bersama, mendoakan kaum kerabat yang telah meninggal dunia. Juga meminta berkah untuk sesuatu hal yang akan kita jalani, seperti puasa Ramadhan misalnya. Setelah itu diisi dengan selamatan, alias makan bersama-sama.
Wah, itu kan tidak ekonomis, butuh biasa sendiri. Itu hanya tradisi dan tidak diajarkan oleh agama. Apa lagi mengingat persiapan menyambut Ramadhan dan Idul Fitri selalu membutuhkan dana ekstra yang cukup menguras kantong. Berdoa, kan, bisa dilakukan sendiri-sendiri, kapan saja dan di mana saja. Bukankah doa merupakan percakapan intim dengan Tuhan yang harus dilakukan secara bersahaja, bukan bersama-sama dengan suara mendengung bising seperti lebah, kata saya sok sufistik, kepada istri saya.
“Ya, terserah Mas saja. Pokoknya biar sabar menjelaskan pada Ibu, supaya Beliau tidak ngambek,” sahut istriku lembut (oh, bersyukur saya punya istri yang lembut dan penuh pengertian).
Keesokan harinya, karena kantor libur, saya sempatkan pergi menengok Ibu saya. Dia tampak senang menyambut kedatangan kami sekeluarga. “Ya, ini, kan, menjelang bulan Ramadhan, kami harus bertemu ibu untuk meminta maaf, supaya puasa kita menjadi lebih afdal,” kata saya. Ibu tersenyum bahagia. Saya ancang-ancang mau membicarakan soal selamatan ruwahan itu. Tapi ternyata Ibu sudah mendahului saya.
“Bagaimana Ridwan, kamu bisa bantu Ibu, kan? Maklumlah Ibu tinggal di pinggiran kota, di tengah-tengah orang sederhana seperti tetangga-tetangga Ibu. Di sini memang ada kebiasaan membuat selamatan ruwahan menjelang bulan Ramadhan. Mereka bilang pada Ibu, masak Ibu dan anak ibu bisa pergi haji tahun ini, tapi tidak bisa bikin selamatan ruwahan untuk menyambut bulan Ramadhan. Wah, panas hati Ibu mendengarnya,” kata ibu berapi-api. Saya dan istri saling lirik dan bertukar pandang. Wah, sudah mulai nih.
“Tidak apa-apa ibu, selamatan seperti itu, kan, hanya tradisi, tidak diajarkan oleh agama. Lagi pula, sebagai orang yang lebih tahu, masak kita mau mengikuti perkataan para tetangga. Kita, kan, beragama sesuai ajaran, bukan berdasarkan apa yang dikatakan tetangga,” saya mencoba meyakinkan Ibu.
Namun, seperti sudah bisa ditebak, Ibu tetap berkeras pada keinginannya. “Ayolah, Ridwan, tetangga Ibu yang hanya jualan tanaman hias di pinggir jalan saja bisa bikin selamatan ruwahan, masak anak-anak Ibu tidak mau membantu, sih?”
Wah, gawat. Saya lihat awan mendung mulai menghiasi mata Ibu. Saya menjadi tidak tahan. Setelah rembukan dengan istri, saya menyerah. Saya pun mulai menelepon kakak dan adik saya. Awalnya mereka juga menggerutu seperti saya. Ibu ini ada-ada saja, kata mereka, yang tidak penting begitu kok dipenting-pentingin, sih. Tapi akhirnya, seperti saya, mereka pun mengalah. Semua anak setuju membantu menyiapkan berbagai keperluan agar selamatan ruwahan itu bisa terlaksana.
Dua hari sebelum bulan Ramadhan tiba, acara itu pun jadi diselenggarakan. Sebagian besar anak, menantu, dan cucu ikut datang ke rumah ibu. Tidak ketinggalan para tetangga. Seorang juru doa, Ustad Umar yang masih bertetangga dengan Ibu, dipanggil untuk memimpin doa selamatan. Kebahagiaan ibu bertambah karena hari itu Ibu juga kedatangan tamu. Paman Ikhsan dan istrinya datang dari kampung, ingin menginap di rumah Ibu barang satu-dua hari.
Kebetulan Paman juga seorang tokoh agama di kampungnya. Ia punya pesantren sendiri, meskipun hanya pesantren kecil. Saya tahu paman Ikhsan juga sama seperti saya, tidak terlalu sreg dengan selamatan macam itu yang terkesan mengada-ada, konsumtif, dan hanya sekadar mengikuti tradisi. Namun paman, hanya tersenyum sabar. “Biar saja, yang penting ibumu senang. Buat dia, berkumpulnya anak cucu dalam kesempatan ini, jauh lebih penting daripada sekadar selamatan ini.”
Lebih lucu lagi karena ternyata paman juga mengenal Ustad Umar yang memimpin doa selamatan itu. Alangkah kecilnya dunia. Namun, saya merasa heran melihat sikap ustad Umar yang terkesan kaku dan salah tingkah melihat paman ada di situ. Begitu menyelesaikan tugasnya, Ustad Umar cepat-cepat pergi.
“Kenapa Paman?” Bisik saya.
“Ah, saya tahu masa lalu dia. Tapi sudahlah, tidak baik membicarakan aib orang. Kita harus berprasangka baik, setiap orang berhak mengubah dirinya menjadi lebih baik bukan? Yang penting, tidak usah cerita soal ustad Umar pada ibumu. Biarlah ibumu bahagia karena acara ini,” kata paman.
Saya melihat ke arah Ibu. Ia tampak bahagia berada di tengah anak cucunya. Diam-diam saya pribadi merasa bersalah. Mungkin kami, anak cucunya, terlalu disibukkan dengan urusan kami masing-masing. Sehingga lupa meluangkan waktu lebih banyak untuk Ibu kami sendiri. Saya rasa Ibu juga tahu, selamatan ruwahan itu tidak penting. Yang penting baginya adalah merasakan berkumpul di tengah anak cucunya, meskipun hanya untuk beberapa jam saja.
Tanpa terasa, mata saya menjadi berkaca-kaca melihat senyum bahagia ibu saya sore itu.
No comments:
Post a Comment