WELCOME TO MY BLOG

Thursday, December 10, 2009

Keutamaan Do'a

1. Do'a adalah otaknya (sumsum / inti nya) ibadah. (HR.Tirmidzi)
2. Do'a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama
serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya'la)
3. Akan muncul dalam umat ini suatu kaum yang melampaui batas
kewajaran dalam berthaharah dan berdoa. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Penjelasan:
Yakni berdoa atau mohon kepada Allah untuk hal-hal yang tidak
mungkin dikabulkan karena berlebih-lebihan atau untuk sesuatu
yang tidak halal (haram).

4. Ada tiga orang yang tidak ditolak do'a mereka: (1) Orang yang
berpuasa sampai dia berbuka; (2) Seorang penguasa yang adil; (3)
Dan do'a orang yang dizalimi (teraniaya). Do'a mereka diangkat
oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan
Allah bertitah, "Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu
(menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Tirmidzi)
5. Barangsiapa tidak (pernah) berdo'a kepada Allah maka Allah
murka kepadanya. (HR. Ahmad)

5 Tiga macam do'a dikabulkan tanpa diragukan lagi, yaitu doa
orang yang dizalimi, doa kedua orang tua, dan do'a seorang
musafir (yang berpergian untuk maksud dan tujuan baik). (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

6. Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Murah hati. Allah
malu bila ada hambaNya yang menengadahkan tangan (memohon
kepada-Nya) lalu dibiarkannya kosong dan kecewa. (HR. Al Hakim)
7. Tiada seorang berdo'a kepada Allah dengan suatu do'a,
kecuali dikabulkanNya, dan dia memperoleh salah satu dari tiga
hal, yaitu dipercepat terkabulnya baginya di dunia, disimpan
(ditabung) untuknya sampai di akhirat, atau diganti dengan
mencegahnya dari musibah (bencana) yang serupa. (HR. Ath-Thabrani)

8. Barangsiapa ingin agar do'anya terkabul dan kesulitan-
kesulitannya teratasi hendaklah dia menolong orang yang dalam
kesempitan. (HR. Ahmad)

No comments:

Sesungguhnya, Rakyat Belumlah Merdeka Seluruh rakyat Indonesia mufakat menetapkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan dari kolonial Belanda yang telah "mengangkangi" kadaulatan NKRI selama 350 tahun. Tapi sejatinya, secara substansial rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan itu secara utuh. Karena dalam banyak hal, kondisi rakyat Indonesia saat ini masih sama belaka dengan kondisi pada masa penjajahan. Setidaknya ada lima persoalan krusial yang bisa menjadi bukti kesahihan tesis itu. Pertama, persoalan kebebasan beragama. Tak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini persoalan kebebasan beragama menjadi pembicaraan panas nan kontroversial, terutama pasca kemunculan 11 Fatwa MUI yang dihasilkan pada Munas VII lalu, yang antara lain melarang ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Berbagai kalangan yang kontra MUI, seperti Aliansi Masyarakat Madani, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), dan pemikir-pemikir progresif lain, menyatakan masa depan kebebasan beragama yang dilindungi undang-undang di negeri ini kian suram saja. Karena fatwa itu, rakyat Indonesia menjadi tidak merdeka menganut kepercayaan yang diyakini. Kelompok minoritas akhirnya menjadi "jajahan" kelompok mayoritas, sehingga mereka tidak bisa mengekspresikan keyakinannya secara bebas. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Kedua, persoalan ekonomi rakyat. Hingga saat ini, pendapatan perkapita rakyat Indonesia masih sangat rendah dan bahkan jauh di bawah standar. Demo-demo yang berisi tuntutan standarisasi (baca: kenaikan) gaji akhirnya terjadi di mana-mana. Ini menunjukkan, realitas ekonomi rakyat masih menjadi masalah serius di negeri "kaya raya" ini. Bahkan, karena sempitnya lapangan pekerjaan, kian hari kian panjang saja deretan daftar pengangguran. Ironisnya, ketika lapangan kerja tertutup yang menyebabkan membuncahnya pengangguran, pemerintah toh tidak (bisa) berbuat apa-apa. Ini jelas berbeda dengan pemerintah Jerman misalnya, yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup para pengangguran. Di Jerman, secara rutin para pengangguran mendapat tunjangan bulanan yang cukup untuk makan dan tempat tinggal. Di Indonesia? Para pengangguran benar-benar sempurna menjadi kelompok paling sengsara, karena tidak mendapat tunjangan apapun dari pemerintah. Sebagai pelindung rakyat, seharusnya pemerintah bertanggung jawab penuh atas semua itu. Tapi Indonesia bukanlah Jerman. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Ketiga, persoalan jaminan kesehatan. Tak dapat dipungkiri lagi, penyakit menjadi "menu favorit" harian rakyat Indonesia. Dari busung lapar, gizi buruk, DBD, flu burung, dan sebagainya. Ironisnya, penyakit-penyakit yang banyak menerpa kelompok miskin ini acapkali harus berujung pada kematian. Biaya rumah sakit yang mahal memaksa mereka untuk lebih "'merelakan" kematian daripada memaksakan kesembuhan. Mahalnya biaya dan njelimet-nya sistem birokrasi rumah sakit pun lantas menjadi momok mengerikan bagi kalangan miskin. Banyak kasus, rumah sakit dengan sadis menolak menolong pasien yang dalam kondisi darurat, hanya karena yang bersangkutan tidak bisa menyediakan biaya awal pengobatan. Pada kenyataannya, rumah sakit acapkali lebih menekankan unsur bisnis ketimbang kemanusiaan. Ironisnya, dalam situasi seperti ini, pemerintah juga tidak (bisa) berbuat apa-apa. Idealnya, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas jaminan kesehatan itu, pemerintah menyediakan rumah sakit gratis atau setidaknya dapat dijangkau mereka. Tapi kenyataannya tidak demikian. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Keempat, persoalan politik. Secara riil, diakui atau tidak, kondisi perpolitikan negeri ini juga belum menunjukkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Demokrasi masih menjadi wacana yang mengambang di angkasa dan jauh dari realitas bumi. Bukti shahih itu misalnya, masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima kenyataan "permainan" politik seperti Pilkada. Masyarakat yang kalah masih belum bisa meredam amarah, emosi, rasa tidak terima, dan sebagainya. Bahkan tak jarang mereka melakukan ancaman atas kelompok yang menang. Padahal kemenangan atau kekalahan merupakan bagian dari konsekuensi proses politik yang wajar. Tapi ironisnya, sepeti Pilkada Depok, pihak yang telah dinyatakan menang oleh KPUD lantas dianggap tidak sah dan kemenangan itu dibatalkan Pengadilan Negeri Jabar; dan diiyakan MA. Itu sungguh lucu! Masyarakat yang menang berpolitik lantas kemenangannya dirampas begitu saja, dengan alasan-alasan yang membingungkan. Dugaan-dugaan uang turut bermain tak terhindarkan lagi. Ini, dan kasus-kasus lain, mengindikasikan bahwa proses politik di negeri ini masih dinodai intrik-intrik yang tidak mencerminkan makna kemerdekaan, karena kemerdekaan bisa dicabut kapan saja oleh pihak lain. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Kelima, persoalan pendidikan. Dalam kenyataannya, kemerdekaan dari penjajahan kolonial tidak menjadikan seluruh lapisan rakyat Indonesia dapat menikmati pendidikan secara baik. Buta huruf masih menggema di pojok-pojok Nusantara. Kelompok miskin yang sangat mendamba pendidikan, acapkali dipaksa gigit jari oleh kenyataan mahalnya biaya pendidikan. Pendidikan akhirnya hanya bisa dinikmati dan dimonopoli oleh orang-orang berduit. Ini menjadikan tidak seluruh rakyat Indonesia serta-merta "merdeka" untuk berpendidikan. Ini sama belaka dengan situasi penjajahan tempoe doeloe, di mana pendidikan hanya menjadi hak kalangan darah biru. Belum lagi kalau bicara soal kualitas pendidikan kita. Mutu pendidikan kita sangat buruk, hatta jika dibandingkan negara yang belum lama merdeka seperti Kamboja sekalipun. Bukankah kenyataan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia belum menikmati makna kemerdekaan sesungguhnya? Lima persoalan di atas perlu dipikirkan secara serius, terutama oleh pemerintah, untuk dicarikan jalan keluar sehingga kemerdekaan sejati benar-benar dapat diraih rakyat Indonesia. Sebab, jika persoalan-persoalan itu selalu menggelayuti kehidupan rakyat Indonesia, maka kemerdekaan dalam maknanya yang sejati hanya akan ada dalam angan dan awang. Rakyat Indonesia akan selamanya menjadi bangsa terjajah. Apalagi jika rumor pemerintah Belanda hendak "menjajah" Indonesia kembali, melalui Tim Uni Eropa yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) yang diketuai warga Belanda Peter Feith benar-benar menjadi kenyataan, tentu rakyat Indonesia akan kian sulit meraih kemerdekaan sesungguhnya. Akhirnya, memerdekakan rakyat Indonesa secara sesungguhnya harus menjadi agenda saat ini. Wa Allah a'lam. Oleh: Nurul Huda Maarif Duta Masyarakat, 16 Agustus 2005